Monday, April 21, 2014

Misteri Tongkat Komando dan Kesaktian Sukarno



Dalam khasanah politik Indonesia, ‘ageman’ atau ‘pegangan’ itu adalah hal biasa. Jangankan pembesar negara, petinggi tingkat kota atau kabupaten pasti memiliki ageman.

Pak Harto sendiri punya ageman banyak yang bilang pusat kekuatan Pak Harto itu ada di Bu Tien Suharto, banyak yang bilang juga di ‘konde’ bu Tien. Tapi yang jelas Pak Harto adalah seorang pertapa, seorang ahli kebatinan tinggi, ia senang tapa kungkum di tempuran (tempuran = pertemuan dua arus kali) di Jakarta ia sering sekali bertapa di dekat Ancol tengah malam, saat tarik ulur dengan Bung Karno antara tahun 1965-1967.

Sedangkan Ageman Bung Karno adalah tongkat komando Yang selalu menemani kemanapun Beliau pergi.

KESAKTIAN BUNG KARNO
Bung Karno  dikenal sebagai seorang waskita, bahkan orang-orang bali percaya kalau dia adalah reingkarnasi dari sang Wisnu, dewa hujan dalam agama hindu. Pernah suatu ketika, bung Karno berkunjung ke Bali, maka terjadilah suatu keanehan yang sangat mengejutkan. Waktu itu Bali tengah dilanda kemarau yang sangat parah. Namun ketika Bung Karno tiba, langsung turun hujan dengan derasnya.

Putra dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai memang sewaktu mudanya banyak menimba berbagai macam aji kanuragan, aji kesaktiaan atau aji kadigdayaan. Makanya baik kawan maupun lawan segan bila berhadapan dengan nya. Bahkan tidak sedikit kaum hawa yang bertekuk lutut padanya hanya sekali kerling.

Menurut sebuah sumber, Bung Karno memiliki aji yang bernama Aji Pojoking Jagat, salah satu kesaktian tingkat tinggi warisan dari kanjeng Sunan Kalijaga. Aji Pojoking Jagat ini memiliki kegunaan bisa berjalan di atas air, bisa mengarungi lautan api tanpa terbakar, lolos dari semua senjata tajam dan lain sebagainya.

Untuk memiliki aji seperti ini harus melakukan tapa pendem (dikubur hudup-hidup) selama 100 hari 100 malam. Aji Pojoking Jagat adalah ilmu wali, makanya Bung Karno setelah mendapatkan ajian ini menjadi manusia setengah wali. Konon Aji Pojoking Jagat ini pernah diburu oleh Pak Harto (Suharto) ketika dia masih berkuasa.

Dulu menurut kesaksian penduduk asli Cikini pernah melihat Bung Karno berjalan di antara rinai hujan tanpa basah sedikitpun. Kemudian pernah pula melihat Bung Karno berpergian bersama ajudannya dengan mobil kap terbuka dan ditembaki oleh seseorang tak dikenal, pelurunya hanya mampu menembus badan mobil. Diyakini ini akibat dari Aji Pojoking Jagat ini. 

Kesaktian Bung Karno sebenarnya adalah ‘kesaktian’ tiban, ‘tiban’ adalah suatu istilah Jawa yang berarti kesaktian yang dimiliki tanpa proses belajar. Waktu lahir Sukarno bernama Kusno, ia sering sakit keras kemudian diganti namanya menjadi Sukarno. Setelah sehat, datanglah kakek Sukarno, Hardjodikromo datang dari Tulungagung untuk berjumpa dengan Sukarno kecil saat itu, sang Kakek melihat ada sesuatu yang lain di anak ini. Kakek Sukarno sendiri adalah seorang sakti, ia bisa menjilati bara api pada sebuah besi yang menyala. – Rupanya di lidah Sukarno ada kemampuan lebih yaitu mengobati orang, Sukarno dicoba untuk mengobati bagian yang sakit dengan menjilat. Dan benar sembuh. Kakek Sukarno, tau bahwa kesaktian ini harus diubah agar cucunya jangan hanya menjadi dukun, tapi harus menjadi seorang yang amat berguna untuk bangsanya.

Kakek Sukarno; Hardjodikromo adalah seorang pelarian dari Jawa Tengah yang menolak sistem tanam paksa Cultuurstelsel Van Den Bosch, ia ke Tulungagung dan memulai usaha sebagai saudagar batik. Leluhur Bung Karno dari pihak Bapaknya adalah Perwira Perang Diponegoro untuk wilayah Solo. Nama leluhur Bung Karno itu Raden Mangundiwiryo yang berperang melawan Belanda, Mangundiwiryo ini adalah orang kepercayaan Raden Mas Prawirodigdoyo salah seorang Panglima Diponegoro yang membangun benteng-benteng perlawanan antara Boyolali sampai Merbabu. Setelah selesainya Perang Diponegoro, Raden Mangundiwiryo diburu oleh intel Belanda dan ia menyamar jadi rakyat biasa di sekitar Purwodadi,

Mangundiwiryo memiliki kesaktian yaitu ‘Ucapannya bisa jadi kenyataan’ istilahnya ‘idu geni’. Rupanya ini menurun pada Bung Karno. Melihat kemampuan ‘idu geni’ Bung Karno itu, Kakeknya Hardjodikromo berpuasa siang malam agar cucunya bisa memiliki kekuatan batin, pada suatu saat Hardjodikromo bermimpi rumahnya kedatangan seorang yang amat misterius, berpakaian bangsawan Keraton Mataram dan mengatakan dengan amat pelan ‘bahwa cucumu adalah seorang Raja bukan saja di Tanah Jawa, tapi di seluruh Nusantara’. Kelak Hardjodikromo mengira bahwa itu adalah perwujudan dari Ki Juru Martani, seorang bangsawan Mataram paling cerdas.

Sejak mimpi itu, kemampuan Bung Karno menjilat dan menyembuhkan langsung hilang berganti dengan ‘kemampuan berbicara yang luar biasa hebat’.



TONGKAT KOMANDO SUKARNO
Tongkat Bung Karno itu dibuat dari bahan kayu Pucang Kalak, Pohon Pucang itu banyak, tapi Pucang Kalak itu hanya ada di Ponorogo, pohon Pucang. Tongkat Komando Bung Karno sendiri dipakai sejak 1952, setelah peristiwa 17 Oktober 1952. -Suatu malam Bung Karno didatangi orang dengan membawa sebalok kayu Pohon Pucang Kalak yang ia potong dengan tangannya, balok itu diserahkan pada Bung Karno. ”Untuk menghadapi Para Jenderal” kata orang itu. Lalu Bung Karno menyuruh salah seorang seniman Yogyakarta untuk membuat kayu itu menjadi tongkat komando.

Bung Karno memiliki tiga tongkat komando yang bentuknya sama, satu tongkat yang ia bawa ke luar negeri, satu tongkat untuk berhadapan dengan para Jenderalnya dan satu tongkat waktu ia berpidato. Namun kalau keadaan buru-buru dan harus pergi, yang kerap ia bawa adalah tongkat sewaktu ia berpidato.

Pernah suatu saat Presiden Kuba, Fidel Castro memegang tongkat Bung Karno dan bercanda “Apakah tongkat ini sakti seperti tongkat kepala suku Indian?” Bung Karno tertawa saja, saat itu Castro meminta peci hitam Bung Karno dan Bung Karno pake pet hijau punya-nya Castro. “Pet ini saya pakai waktu saya serang Havana dan saya jatuhkan Batista” kata Castro mengenai Pet hijaunya itu.
Apakah tongkat Bung Karno itu memiliki kesaktian? seperti Keris Diponegoro ‘Kyai Salak’ atau keris Aryo Penangsang ‘Kyai Setan Kober’ wallahu’alam .